Pengertian hukum
Untuk kegunaan hukum dalam bilang ilmiah (ilmu), lihat hukum (ilmiah)
Hukum[4] adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.[5] dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."[6]
Senin, 02 April 2012
kekuasaan dpr dan pendulum reformasi
Kekuasaan dpr dan pendulum reformasi
Semenjak era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum di Indonesia. Dari amandemen konstitusi dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja aparat dan transformasi budaya hukum. Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan. Namun jika diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama. Kondisi ini dapat terjadi apabila ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD 1945. Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945 membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Selain itu, pengerdilan partai politik melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR. Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR (Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN.
Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar. Hampir di setiap talkshow dan seminar, segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun 1998-2001. Publik seolah lupa dengan desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter). Suatu gerakan kolektif menuju perubahan ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum. Selain karena menguat atas ketidakpuasan kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya mengusulkan amandemen pada masa lampau.
Reformasi Hukum dan Ruang Publik
Mencegah arah gerak pendulum reformasi hukum bukan berarti menentang segala upaya untuk mengembalikan sistem seperti dahulu kala. Apabila reformasi yang dikembangkan saat ini terbukti gagal, sudah tentu harus dilakukan upaya-upaya perbaikan yang berkelanjutan, termasuk mengembalikan kepada sistem yang semula apabila dirasa lebih memberikan manfaat.
Namun demikian, diperlukan adanya suatu metode untuk menjamin bahwa evaluasi yang dilakukan dapat berjalan secara sistematis, partisipatif, dan forward looking, bukan hanya sekedar gairah emosional melihat kenyataan pahit saat ini, atau terbuai dengan romantisme kejayaan masa lalu.
Satu hal yang dapat dijadikan pelajaran paling berharga adalah untuk mencegah arah pergerakan pendulum, dibutuhkan pembukaan ruang publik dalam setiap rencana reformasi hukum. Tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali membuka ruang publik yang “hakiki” dan seluas-luasnya dalam proses pembuatan hukum.
Terbatasnya akses dan kepentingan publik, digantikan dengan barter kepentingan politik, merupakan salah satu kelemahan dalam amandemen terdahulu yang wajib diperbaiki di masa mendatang. Berbagai penelitian dan pendapat ahli sepakat bahwa memang faktanya, amandemen UUD 1945 lebih berlangsung pada tataran elitis, didorong oleh segelintir jajaran elite politik di parlemen, dan tidak didukung oleh kapasitas akademik yang kuat. Selain kurangnya masukan publik (yang lebih memberikan dimensi aspirasi sosial), kurangnya validitas akademik yang kuat menyebabkan banyaknya konsep pasal yang saling bertentangan dan rancu interpretasi yang menimbulkan permasalahan tersendiri.
Keadaan ini menimbulkan apatisme publik (termasuk kalangan akademik dan profesional) terhadap hasil perubahan yang dilakukan: baru kemudian setelah perubahan tersebut dirasakan ada yang “kurang,” kritik, dan kecaman yang akhirnya berujung kepada keinginan untuk kembali ke keadaan semula pun mengemuka.
Selain itu, kurangnya perlibatan publik dalam pembuatan UUD 1945 menyebabkan tidak adanya sense of belonging terhadap amandemen yang dihasilkan, menyebabkan orang lebih mudah untuk menyerang dan mencaci secara emosional, dibandingkan mempertimbangkan secara masak-masak segala sisi positif dan negatif dari hasil amandemen UUD 1945 tersebut.
Namun patut diingat, ruang publik yang hakiki bukan sekedar membuka aspirasi, layaknya Rapat Dengar Pendapat di DPR atau sekedar pengiriman makalah-makalah dari para pakar. Sebagaimana disebutkan oleh Habermas, partisipasi publik yang hakiki adalah pembentukan diskursus, yang mana setiap pihak berada dalam posisi yang sederajat dan bebas kepentingan, untuk mencari konsensus terhadap suatu permasalahan. Diskursus, secara teori, memang tidak bertujuan untuk saling mempengaruhi pemikiran lawan debat, melainkan menuju pemahaman bersama mengenai suatu permasalahan di antara para pelakunya. Teori majority rule atau one man one vote pun hancur dengan konstruksi ini.
Dalam praktek, memang keadaan ini sulit diterapkan. Namun setidaknya, hal yang mungkin dapat didorong adalah pembentukan mekanisme evaluasi publik terhadap potensi yang akan terjadi maupun dampak yang ditimbulkan dari suatu pemberlakuan hukum. Diperlukan adanya mekanisme feed back dan follow up yang komprehensif dan proaktif dari hukum, tidak terkecuali UUD 1945. Layaknya restoran yang selalu menyediakan kertas respons agar diisi oleh pelanggan yang berkunjung ke tempatnya, metode ini seharusnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan hukum kita.
Singkat kata, gerakan pendulum adalah bahaya laten dalam reformasi hukum. Ia bisa menimbulkan kebahagiaan semu, seolah-olah masyarakat bergerak menuju perubahan, meskipun yang terjadi hanyalah berkeliling di tempat yang sama. Solusi untuk hal tersebut bukan berada pada tataran substantif, namun pada metodologi yang digunakan: pembukaan ruang publik yang hakiki dengan mekanisme evaluasi yang konklusif dan partisipatif.
Semenjak era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum di Indonesia. Dari amandemen konstitusi dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja aparat dan transformasi budaya hukum. Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan. Namun jika diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama. Kondisi ini dapat terjadi apabila ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD 1945. Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945 membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Selain itu, pengerdilan partai politik melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR. Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR (Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN.
Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar. Hampir di setiap talkshow dan seminar, segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun 1998-2001. Publik seolah lupa dengan desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter). Suatu gerakan kolektif menuju perubahan ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum. Selain karena menguat atas ketidakpuasan kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya mengusulkan amandemen pada masa lampau.
Reformasi Hukum dan Ruang Publik
Mencegah arah gerak pendulum reformasi hukum bukan berarti menentang segala upaya untuk mengembalikan sistem seperti dahulu kala. Apabila reformasi yang dikembangkan saat ini terbukti gagal, sudah tentu harus dilakukan upaya-upaya perbaikan yang berkelanjutan, termasuk mengembalikan kepada sistem yang semula apabila dirasa lebih memberikan manfaat.
Namun demikian, diperlukan adanya suatu metode untuk menjamin bahwa evaluasi yang dilakukan dapat berjalan secara sistematis, partisipatif, dan forward looking, bukan hanya sekedar gairah emosional melihat kenyataan pahit saat ini, atau terbuai dengan romantisme kejayaan masa lalu.
Satu hal yang dapat dijadikan pelajaran paling berharga adalah untuk mencegah arah pergerakan pendulum, dibutuhkan pembukaan ruang publik dalam setiap rencana reformasi hukum. Tidak ada cara lain yang dapat dilakukan kecuali membuka ruang publik yang “hakiki” dan seluas-luasnya dalam proses pembuatan hukum.
Terbatasnya akses dan kepentingan publik, digantikan dengan barter kepentingan politik, merupakan salah satu kelemahan dalam amandemen terdahulu yang wajib diperbaiki di masa mendatang. Berbagai penelitian dan pendapat ahli sepakat bahwa memang faktanya, amandemen UUD 1945 lebih berlangsung pada tataran elitis, didorong oleh segelintir jajaran elite politik di parlemen, dan tidak didukung oleh kapasitas akademik yang kuat. Selain kurangnya masukan publik (yang lebih memberikan dimensi aspirasi sosial), kurangnya validitas akademik yang kuat menyebabkan banyaknya konsep pasal yang saling bertentangan dan rancu interpretasi yang menimbulkan permasalahan tersendiri.
Keadaan ini menimbulkan apatisme publik (termasuk kalangan akademik dan profesional) terhadap hasil perubahan yang dilakukan: baru kemudian setelah perubahan tersebut dirasakan ada yang “kurang,” kritik, dan kecaman yang akhirnya berujung kepada keinginan untuk kembali ke keadaan semula pun mengemuka.
Selain itu, kurangnya perlibatan publik dalam pembuatan UUD 1945 menyebabkan tidak adanya sense of belonging terhadap amandemen yang dihasilkan, menyebabkan orang lebih mudah untuk menyerang dan mencaci secara emosional, dibandingkan mempertimbangkan secara masak-masak segala sisi positif dan negatif dari hasil amandemen UUD 1945 tersebut.
Namun patut diingat, ruang publik yang hakiki bukan sekedar membuka aspirasi, layaknya Rapat Dengar Pendapat di DPR atau sekedar pengiriman makalah-makalah dari para pakar. Sebagaimana disebutkan oleh Habermas, partisipasi publik yang hakiki adalah pembentukan diskursus, yang mana setiap pihak berada dalam posisi yang sederajat dan bebas kepentingan, untuk mencari konsensus terhadap suatu permasalahan. Diskursus, secara teori, memang tidak bertujuan untuk saling mempengaruhi pemikiran lawan debat, melainkan menuju pemahaman bersama mengenai suatu permasalahan di antara para pelakunya. Teori majority rule atau one man one vote pun hancur dengan konstruksi ini.
Dalam praktek, memang keadaan ini sulit diterapkan. Namun setidaknya, hal yang mungkin dapat didorong adalah pembentukan mekanisme evaluasi publik terhadap potensi yang akan terjadi maupun dampak yang ditimbulkan dari suatu pemberlakuan hukum. Diperlukan adanya mekanisme feed back dan follow up yang komprehensif dan proaktif dari hukum, tidak terkecuali UUD 1945. Layaknya restoran yang selalu menyediakan kertas respons agar diisi oleh pelanggan yang berkunjung ke tempatnya, metode ini seharusnya merupakan keniscayaan dalam kehidupan hukum kita.
Singkat kata, gerakan pendulum adalah bahaya laten dalam reformasi hukum. Ia bisa menimbulkan kebahagiaan semu, seolah-olah masyarakat bergerak menuju perubahan, meskipun yang terjadi hanyalah berkeliling di tempat yang sama. Solusi untuk hal tersebut bukan berada pada tataran substantif, namun pada metodologi yang digunakan: pembukaan ruang publik yang hakiki dengan mekanisme evaluasi yang konklusif dan partisipatif.
tugas subyek dan objek hukum
Tugas subyek dan objek hokum
Tugas – Subyek dan Obyek Hukum (2)
Subjek Hukum & Objek Hukum
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Terdiri dari orang dan badan hukum.
Subjek hukum di bagi atas 2 jenis, yaitu
1. Subjek Hukum Manusia
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karen atidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu :
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.Manusia biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
2. Subjek Hukum Badan Hukum
Adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukkum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum terbagi atas 2 macam yaitu :
1. Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)
Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian, badan hukum itu merupakan badan swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan, social, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah.
2. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Obyek hukum Adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Objek hukum berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis.
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Jenis objek hukum yaitu berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan).
Berikut ini penjelasannya :
1. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak
2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian)
Perjanjian utang piutangn dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUHP tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Unsur-unsur dari jaminan, yaitu :
1. Merupakan jaminan tambahan
2. Diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur
3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Kegunaan dari jaminan, yaitu :
1. Memberi hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji
2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya dengan merugikan diri sendiri dapat dicegah.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya misalnya dalam pembayarn angsuran pokok kredit tiap bulannya.
Syarat-syarat benda jaminan :
1. Mempermudah diperolehnya kredit bagi pihak yang memerlukannya
2. Tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
Manfaat benda jaminan bagi kreditur :
1. Terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup
2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur
Sedangkan manfaat benda bagi jaminan debitur, adalah : untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dealam mengembangkan usahanya.
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum
2. Jamian yang bersifat khusus
3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan
Penggolongan jaminan beerdasarkan objek/bendanya, yaitu :
1. Jaminan dalam bentuk benda bergerak
2. Jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak
Penggolongan jaminan berdasarkan terjadinya, yaitu :
1. Jaminan yang lahir karena undang-undang
2. Jaminan yang lahir karena perjanjian
Sumber : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/subjek-hukum-objek-hukum/
Tugas – Subyek dan Obyek Hukum (2)
Subjek Hukum & Objek Hukum
Subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat mempunyai hak dan kewajiban untuk bertindak dalam hukum. Terdiri dari orang dan badan hukum.
Subjek hukum di bagi atas 2 jenis, yaitu
1. Subjek Hukum Manusia
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia.
Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karen atidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu :
1. Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah.
2. Orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.Manusia biasa (natuurlijke persoon) manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak kewarganegaraan tidak tergantung pada hak kewarganegaraan.
2. Subjek Hukum Badan Hukum
Adalah sustu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukkum dan mempunyai tujuan tertentu. Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yaitu :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya
2. Hak dan Kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum terbagi atas 2 macam yaitu :
1. Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon)
Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu.
Dengan demikian, badan hukum itu merupakan badan swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari keuntungan, social, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lainnya menurut hukum yang berlaku secara sah.
2. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon)
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya.
Obyek hukum Adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Objek hukum berupa benda atau barang ataupun hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis.
Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Jenis objek hukum yaitu berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen), dan benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan).
Berikut ini penjelasannya :
1. Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud. Yang meliputi :
a. Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan
b. Benda tidak bergerak
2. Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderen)
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
Hak Kebendaan yang Bersifat sebagai Pelunasan Utang (Hak Jaminan)
Hak kebendaan yang bersifat sebagai pelunasan utang adalah hak jaminan yang melekat pada kreditur yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan ekekusi kepada benda melakukan yang dijadikan jaminan, jika debitur melakukan wansprestasi terhadap suatu prestasi (perjanjian)
Perjanjian utang piutangn dalam KUHP tidak diatur secara terperinci, namun tersirat dalam pasal 1754 KUHP tentang perjanjian pinjam pengganti, yakni dikatakan bahwa bagi mereka yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Unsur-unsur dari jaminan, yaitu :
1. Merupakan jaminan tambahan
2. Diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur
3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Kegunaan dari jaminan, yaitu :
1. Memberi hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji
2. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya dengan merugikan diri sendiri dapat dicegah.
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya misalnya dalam pembayarn angsuran pokok kredit tiap bulannya.
Syarat-syarat benda jaminan :
1. Mempermudah diperolehnya kredit bagi pihak yang memerlukannya
2. Tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
Manfaat benda jaminan bagi kreditur :
1. Terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup
2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur
Sedangkan manfaat benda bagi jaminan debitur, adalah : untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dealam mengembangkan usahanya.
Penggolongan jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu:
1. Jaminan yang bersifat umum
2. Jamian yang bersifat khusus
3. Jaminan yang bersifat kebendaan dan perorangan
Penggolongan jaminan beerdasarkan objek/bendanya, yaitu :
1. Jaminan dalam bentuk benda bergerak
2. Jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak
Penggolongan jaminan berdasarkan terjadinya, yaitu :
1. Jaminan yang lahir karena undang-undang
2. Jaminan yang lahir karena perjanjian
Sumber : http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/subjek-hukum-objek-hukum/
hukum pidana
Hukum pidana
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]
Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[2]
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.[1]
Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk [2]:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[2]
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.[2]
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.[2]
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.[3]
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
kekuasaan dpr
Kekuasaan dpr
JAKARTA - Desain konstitusi yang dianut Indonesia saat ini, diyakini lebih condong pada kuasaan legislatif. Kondisi ini lah yang kemudian berdampak pada kekuasaan DPR yang tak berujung.
Demikian disampaikan pengamat hukum tata negara Refli Harun dalam diskusi pekan konstitusi di kantor International Conference on Islamic Scholasticism (ICIC), Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2012).
“DPR merasa puas dengan desain konstitusi sekarang yang mengubah bandul kekuasaan yang tadinya lebih berat ke eksekutif, secara ekstrim sekarang lebih berat ke legislatif,” ujarnya Refli.
Bentuk kesombongan DPR, lanjut Refli, dibuktikan dengan pemilihan hampir seluruh pejabat negara yang harus melalui uji kapatutan dan kelayakan di DPR.
“Dengan desain ketatanegaraan tersebut, tidak ada insentif DPR untuk mendukung amandemen yang coba disodorkan DPD. Sampai akhirnya DPR terkesan DPR sebagai lembaga tak memiliki ujung kekuasaan,” ujarnya.
Termasuk, kata dia, dalam hal DPD mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), tetapi dipakai atau tidaknya RUU tersebut tergantung dari DPR. Karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah anggota DPD pernah menyarankan pembubaran DPD.
“Tapi menurut saya bukan dibubarkan. Yang dibutuhkan penguatan posisi DPD,” tutupnya.
Pendulum reformasi
Semenjak era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum di Indonesia. Dari amandemen konstitusi dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja aparat dan transformasi budaya hukum. Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan. Namun jika diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama. Kondisi ini dapat terjadi apabila ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD 1945. Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945 membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Selain itu, pengerdilan partai politik melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR. Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR (Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN.
Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar. Hampir di setiap talkshow dan seminar, segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun 1998-2001. Publik seolah lupa dengan desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter). Suatu gerakan kolektif menuju perubahan ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum. Selain karena menguat atas ketidakpuasan kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya mengusulkan amandemen pada masa lampau.
Reformasi Hukum dan Ruang Publik
JAKARTA - Desain konstitusi yang dianut Indonesia saat ini, diyakini lebih condong pada kuasaan legislatif. Kondisi ini lah yang kemudian berdampak pada kekuasaan DPR yang tak berujung.
Demikian disampaikan pengamat hukum tata negara Refli Harun dalam diskusi pekan konstitusi di kantor International Conference on Islamic Scholasticism (ICIC), Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2012).
“DPR merasa puas dengan desain konstitusi sekarang yang mengubah bandul kekuasaan yang tadinya lebih berat ke eksekutif, secara ekstrim sekarang lebih berat ke legislatif,” ujarnya Refli.
Bentuk kesombongan DPR, lanjut Refli, dibuktikan dengan pemilihan hampir seluruh pejabat negara yang harus melalui uji kapatutan dan kelayakan di DPR.
“Dengan desain ketatanegaraan tersebut, tidak ada insentif DPR untuk mendukung amandemen yang coba disodorkan DPD. Sampai akhirnya DPR terkesan DPR sebagai lembaga tak memiliki ujung kekuasaan,” ujarnya.
Termasuk, kata dia, dalam hal DPD mengusulkan rancangan undang-undang (RUU), tetapi dipakai atau tidaknya RUU tersebut tergantung dari DPR. Karena itu, tidak mengherankan jika sejumlah anggota DPD pernah menyarankan pembubaran DPD.
“Tapi menurut saya bukan dibubarkan. Yang dibutuhkan penguatan posisi DPD,” tutupnya.
Pendulum reformasi
Semenjak era reformasi pada 1998, terjadi perubahan besar-besaran dalam sistem hukum di Indonesia. Dari amandemen konstitusi dan perubahan peraturan perundang-undangan, hingga pembenahan sistem kerja aparat dan transformasi budaya hukum. Meskipun patut diapresiasi positif, arah perkembangan reformasi hukum perlu diantisipasi untuk mencegah arah gerak perubahan bak pendulum.
Pendulum selalu bergerak dinamis, tidak pernah berhenti, sehingga secara kasat mata dianggap kemajuan. Namun jika diperhatikan seksama, sesungguhnya pergerakan tersebut hanya berjalan di tempat, tak beranjak, dan berputar di tempat yang sama. Kondisi ini dapat terjadi apabila ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil reformasi hukum yang telah dicapai terkumpul menjadi gerakan untuk “kembali ke kondisi semula” tanpa memperhatikan kinerja dan evaluasi yang telah dicapai selama proses reformasi hukum berjalan.
Beberapa contoh dapat diberikan untuk melihat adanya fenomena ini, yang mana salah satunya adalah wacana amandemen kelima UUD 1945. Banyaknya desakan dari berbagai elemen masyarakat maupun institusi negara untuk segera mengamandemen UUD 1945 membuktikan bahwa konstitusi Indonesia masih belum sempurna.
Namun demikian, melihat arah opini publik menyangkut berbagai isu, sebut saja soal peran dan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat kemungkinan terjadinya pergeseran kekuasaan di institusi DPR dengan pola pendulum, yakni kembali ke masa sebelum amandemen.
Pada era pasca reformasi, semangat dalam proses amandemen adalah pembatasan kekuasaan eksekutif yang pada rejim Orde Baru dianggap terlalu executive heavy, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Selain itu, pengerdilan partai politik melalui berbagai cara juga menyebabkan kegerahan publik untuk memperkuat lembaga representasi dan pengawasan yang terjelma dalam tubuh DPR. Menilik Arsip PAH I Badan Pekerja MPR (Sekretariat Jenderal MPR tahun 2000), dapat dilihat berbagai makalah mulai dari LIPI, UI, UGM, ITB, Unibraw, Unhas, hingga berbagai laporan peneliti independen yang mendukung pemikiran yang sama dan merekomendasikan penguatan peran DPR.
Hasilnya, saat ini, DPR memiliki kekuasaan yang sangat besar, khususnya dalam pengawasan dan pengangkatan pejabat publik. DPR memegang suara kunci untuk menentukan pengangkatan mulai dari hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur BI, kepala kepolisian, pejabat komisi negara, hingga direksi BUMN.
Kondisi ini mulai dipandang negatif karena menciptakan politisasi dan perdagangan kepentingan jabatan-jabatan publik. Peran pengawasan juga dianggap telah dijalankan secara eksesif sehingga menganggu jalannya pemerintahan. Pemerintah dianggap “tersandera” oleh kekuatan parlemen dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Hal tersebut ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR yang sudah tidak dianggap lagi memperjuangkan kepentingan masyarakat mulai dari kegiatan studi-banding-wisata yang berlebihan ke luar negeri hingga dugaan berbagai praktek korupsi di tubuh DPR yang secara perlahan terbukti.
Sekarang, gagasan untuk mengurangi peran DPR dan kembali ke format executive-heavy acapkali terdengar. Hampir di setiap talkshow dan seminar, segenap pihak menyuarakan perubahan perubahan atas kewenangan DPR, kondisi mana yang jauh berbeda dengan semangat awal reformasi di sekitar tahun 1998-2001. Publik seolah lupa dengan desakan mereka 10 tahun yang lalu yang justru menginginkan perluasan kekuasaan DPR sebagai perwujudan kehendak rakyat untuk membangun oposisi yang kuat terhadap pemerintah (yang identik dengan kekuasaan otoriter). Suatu gerakan kolektif menuju perubahan ternyata hanya berputar di tempat yang sama.
Gagasan pembatasan kewenangan DPR merupakan contoh yang sempurna mengenai gerakan pendulum dalam reformasi hukum. Selain karena menguat atas ketidakpuasan kinerja DPR hasil amandemen, desakan ini muncul secara konsensus dan tanpa pertentangan dari pihak manapun, termasuk aktor utama yang sebelumnya mengusulkan amandemen pada masa lampau.
Reformasi Hukum dan Ruang Publik
hukum perdata di indonesia
Nama : zainal fathoni
Npm : 28210819
Contoh Kasus Hukum Perdata di Indonesia dan internasional
Contoh Kasus hukum Perdata tentang Perceraian
( Kekerasan Dalam rumah Tangga)
Perkara Cerai Susan Karena Kekerasan Rumah Tangga
Contoh kasus dari seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama ( PA ), adapaun data/identitasnya adalah sebagai berikut :
Nama : Susan
Umur : 26 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 2 tahun
Cerita Permasalahan / Kronologis
Susan menikah di Jakarta dengan suaminya 3 tahun yang lalu (th 2001). Dikaruniai 1 orang putra berumur 2 tahun. Sudah lama sebenarnya Susan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Susan, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Susan sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedimikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Susan merasa terncam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2007, Susan dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Susan memutuskan untuk bercerai saja.
Proses Cerai
Menentukan Pengadilan Mana yang Berwenang
Susan langsung ancang-ancang mempersiapkan perceraiannya. Dalam hal ini Susan tidak boleh salah menentukan pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara cerainya. Karena bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur bila yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal terakhir si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Bila yang mengajukan gugatan cerai si suami (beragama Islam) maka Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Di Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang berwenang memproses perkara cerainya Susan. Maka susan harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia tinggali, yakni alama tepatnya di bilangan Tebet ( Jakarta Selatan ). Jadi pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Susan adalah PA Jakarta Selatan. Susan mencari alamat PA Jakarta Selatan, yaitu di Jl. Rambutan VII, No. 48, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Saran utk persiapan proses cerai :
• Menentukan dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara cerainya;
• Survey langsung ke pengadilan tersebut;
• Mencari informas di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai, bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya itu, Susan menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
• Susan punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya; dan
• Susan tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
• Umumnya penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam proses perceraiannya.
Sumber: gamas09blogspot.com
Npm : 28210819
Contoh Kasus Hukum Perdata di Indonesia dan internasional
Contoh Kasus hukum Perdata tentang Perceraian
( Kekerasan Dalam rumah Tangga)
Perkara Cerai Susan Karena Kekerasan Rumah Tangga
Contoh kasus dari seorang istri yang hendak mengajukan gugatan cerai pada suaminya di Pengadilan Agama ( PA ), adapaun data/identitasnya adalah sebagai berikut :
Nama : Susan
Umur : 26 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Status : Menikah
Anak : 1 anak laki-laki, umur 2 tahun
Cerita Permasalahan / Kronologis
Susan menikah di Jakarta dengan suaminya 3 tahun yang lalu (th 2001). Dikaruniai 1 orang putra berumur 2 tahun. Sudah lama sebenarnya Susan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, Suaminya adalah mantan anak orang kaya yang tidak jelas kerjanya apa dan sering berprilaku sangat kasar pada Susan, seperti membentak, berkata kotor, melecehkan dan yang terparah adalah sering memukul. Sehingga akhirnya Susan sering tidak tahan sampai berpikir untuk bercerai saja. Adanya musyawarah dan pertemuan keluarga sudah diadakan beberapa kali tapi tetap tidak merubah prilaku suaminya tersebut. Bahkan sedimikian parahnya dimana si suami melepas tanggung-jawabnya sebagai seorang suami dan ayah karena sudah 2 tahun ini si suami tidak memberikan nafkah lahir untuk sang Istri dan anaknya. Sampai akhirnya, Susan merasa terncam jiwanya dimana terjadi kejadian pada bulan April 2007, Susan dipukul / ditonjok matanya sampai biru yang berujung pada kekerasan terhadap anak semata wayangnya juga. Setelah kejadian itu Susan memutuskan untuk bercerai saja.
Proses Cerai
Menentukan Pengadilan Mana yang Berwenang
Susan langsung ancang-ancang mempersiapkan perceraiannya. Dalam hal ini Susan tidak boleh salah menentukan pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara cerainya. Karena bila salah mendaftarkan gugatan cerai di Pengadilan yang tidak berwenang maka gugatannya tersebut dapat ditolak oleh hakim. Dalam Undang-undang diatur bila yang mengajukan gugatan cerai si istri (beragama Islam) maka Pengadilan Agama yang berwenangnya adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal terakhir si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Bila yang mengajukan gugatan cerai si suami (beragama Islam) maka Pengadilan Agama adalah Pengadilan Agama di wilayah yang sesuai dengan wilayah tempat tinggal si istri.
Catatan :
Jadi Pengadilan Agama yg berwenang memproses perkara perceraian adalah Pengadilan Agama yg sesuai dari wilayah si istri, bukan-lah harus Pengadilan Agama yg sesuai dari KTP si istri / suami atau bukanlah berdasarkan Pengadilan Agama sesuai wilayah dimana mereka dulu menikah.
Di Jakarta ada 5 Pengadilan Agama (PA), untuk menentukan secara tepat PA mana yang berwenang memproses perkara cerainya Susan. Maka susan harus mengetahui persis alamat tempat tinggalnya yang saat ini ia tinggali, yakni alama tepatnya di bilangan Tebet ( Jakarta Selatan ). Jadi pengadilan yang tepat mengadili perkara cerai Susan adalah PA Jakarta Selatan. Susan mencari alamat PA Jakarta Selatan, yaitu di Jl. Rambutan VII, No. 48, Pejaten Barat, Jakarta Selatan.
Saran utk persiapan proses cerai :
• Menentukan dengan benar pengadilan manakah yang berwenang mengadili perkara cerainya;
• Survey langsung ke pengadilan tersebut;
• Mencari informas di pengadilan berwenang tersebut utk mendapatkan informasi proses cerai sebanyak-banyaknya (seperti: apa syarat-syarat mengajukan gugatan cerai, bagaimana menyusun gugatan, berapa biaya daftar gugatan dll).
Perlukah jasa pengacara?
Dari hasil informasinya itu, Susan menentukan untuk tidak menggunakan jasa seorang pengacara, karena :
• Susan punya banyak waktu untuk menghadiri sidang perceraiannya; dan
• Susan tidak punya banyak uang untuk menyewa seorang pengacara yang mungkin bisa mengeruk biaya sekitar Rp 5jt – 10jt lebih.
• Umumnya penggunaan jasa pengacara digunakan pada orang yang waktunya sempit (sibuk bekerja) dan adanya hak dan kewajiban yang mungkin sulit dipertahankan dalam proses perceraiannya.
Sumber: gamas09blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)