Minggu, 03 Juni 2012
Zainal fathoni
28210819
2 eb 19
Study kasus pembalakan liar di hutan yang merugikan negara
Jangan sampai aneka keganjilan hukum, membuat publik mengalami degradasi harapan terhadap hukum. Hidup tapa harapan hukum, adalah derita bagi negara. Dan siapa saja yang sedang memerintah harus mengerti persoalan ini, jika mereka ingin dipercayai rakyatnya.
TERSANGKA pembalak hutan itu bebas. Itulah kebebasan atas seseorang yang kepadanya disangkakan telah merugikan negara sebanyak Rp 227 trilyun. Jumlah yang amat, sangat, besar! Padahal untuk itupun jaksa sudah menuntutnya dengan tuntutan yang relatif rendah, hanya 10 tahun dan denda Rp 1 milyar saja. Dan tuntutan yang sudah rendah itu pun, berbuat kebebasan pula. Jaksa menuntut 10 tahun, sementara hakim membebaskannya. Adakah perbedaan pemahanan hukum antara hakim dan jaksa itu begitu jauhnya, sehingga bisa menelorkan keputusan yang begitu berbedanya.
Kita mengingat nama Adelin Lis sebagai buron. Memutuskan menjadi buron itu sendiri telah sebuah pelecehan hukum, sementara yang diburu sudah di luar negeri adalah pelecehan berikutnya. Dan sang buron itu pun akhirnya tertangkap di China ketika hendak memperpanjang paspornya di kedutaan. Sebuah penangkapan yang dramatik, karena sang buron itu hendak melawan pula. Perlawanan ini pun susungguhnya juga penistaan terhadap hukum. Dan kini, vonis kebebasan itu, kembali menyodorkan teka-teki, benarkah tersangka ini tidak bersalah, atau hukum kita yang belum juga berubah. Berubah dari apa yang selalu dicurigakan publik, yakni tentang hukum yang gemar membela yang salah.
Bukan kemampuan publik untuk mengerti kerumitan argumentasi hukum. Tetapi publik pasti memiliki kemampuan merasakan setiap keganjilan. Keganjilan itu misalnya: melihat kerusakan hutan telah begini luasnya. Pulau-pulau besar kita, semua menderita kerusakan yang sama. Pembalakan hutan terjadi begitu jelasnya, tetapi pembalaknya sendiri tidak ada. Yang ada hanyalah para tersangka. Jadi sejauh-jeuhnya hukum kita dalam soal pembalakan hutan, cukup hanya di tingkat tersangka saja dan yang bersalah belum ada!
Kita tidak mengajari untuk berprasangka buruk atas vonsi bebas ini. Tetapi kita kecewa kepada fakta, bahwa betapa baru sedikit sekali kejahatan lingkungan ini bisa kita atasi. Sangat tidiak sepadan dengan kerusakan hutan kita yang dalam setahun hampir menjangkau 2 hektar luasnya. Kecepatan kita dalam merusak sangat tidak kita ikuti dengan kecepatan kita dalam menghukum. Jadi penangkapan yang dramatik di kedutaan besar di China itu, lalu menjadi semacam aksi yang konyol belaka, karena yang kita tangkap dengan amat bersusah payah itu, ternayata adalah orang yang dinyatakan tidak bersalah.
Jangan sampai aneka keganjilan hukum, membuat publik mengalami degradasi harapan terhadap hukum. Hidup tapa harapan hukum, adalah derita bagi negara. Dan siapa saja yang sedang memerintah harus mengerti persoalan ini, jika mereka ingin dipercayai rakyatnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar